Oleh : Airlangga
Ketika skema BPJS Kesehatan dicanangkan, program ini dirancang sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat yang paling rentan. Melalui Program Penerima Bantuan Iuran (PBI), pemerintah mengambil alih tanggung jawab pembayaran iuran bagi mereka yang tidak mampu, sebagai wujud nyata semangat gotong royong untuk memastikan akses kesehatan yang merata. Namun, kabar bahwa figur publik seperti Harvey Moeis dan Sandra Dewi terdaftar sebagai peserta BPJS PBI telah mencederai rasa keadilan masyarakat luas.
Mengusik Nurani Publik
Nama Harvey Moeis dan Sandra Dewi selama ini lekat dengan kesan kemapanan, kemewahan, dan gaya hidup yang jauh dari kebutuhan bantuan sosial. Ketika mereka masuk dalam daftar penerima BPJS PBI yang sepenuhnya dibiayai oleh negara pertanyaan besar pun muncul: di mana letak keadilan?
Bagaimana bisa figur yang memiliki kemampuan finansial di atas rata-rata mendapatkan fasilitas yang dirancang untuk masyarakat miskin? Bukankah ini sama saja dengan mengambil alokasi yang seharusnya menjadi hak orang-orang yang benar-benar membutuhkan?
Masalah Sistem dan Pengawasan
Kasus ini menguak kelemahan sistem pendataan dan pengawasan dalam program PBI. Pendataan yang seharusnya berbasis kondisi ekonomi justru gagal menyaring siapa yang layak mendapatkan bantuan. Kealpaan ini tidak hanya merugikan masyarakat miskin yang seharusnya mendapatkan prioritas, tetapi juga merusak citra program BPJS Kesehatan sebagai instrumen keadilan sosial.
Tidak ada yang salah dengan figur publik memiliki BPJS, terutama jika mereka terdaftar sebagai peserta mandiri dan membayar iuran sesuai kelasnya. Namun, masuknya nama-nama seperti Harvey dan Sandra dalam kategori PBI menunjukkan perlunya reformasi mendasar dalam sistem verifikasi dan validasi data penerima bantuan.
Respons yang Diperlukan
Pemerintah dan pengelola BPJS Kesehatan harus segera mengambil langkah tegas. Audit menyeluruh terhadap data peserta PBI harus dilakukan, dan mekanisme pendataan perlu diperbaiki agar lebih transparan dan akuntabel. Pemanfaatan teknologi seperti big data dan kecerdasan buatan bisa menjadi solusi untuk memastikan bantuan hanya diberikan kepada yang berhak.
Selain itu, figur publik yang ditemukan “menyusup” ke dalam skema bantuan ini juga memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan klarifikasi. Jika memang terjadi kesalahan administratif, langkah yang tepat adalah segera mengundurkan diri dari status PBI dan mengembalikan hak tersebut kepada mereka yang lebih membutuhkan.
Menjaga Esensi Keadilan Sosial
BPJS Kesehatan adalah simbol solidaritas nasional. Namun, solidaritas ini hanya akan bermakna jika berjalan dalam kerangka keadilan. Kasus Harvey dan Sandra menjadi pengingat bahwa rasa keadilan masyarakat tidak boleh diabaikan.
Pemerintah harus segera merevisi mekanisme yang memungkinkan kesalahan seperti ini terjadi. Sementara itu, masyarakat mampu, termasuk figur publik, perlu memahami bahwa “jatah” PBI bukanlah milik mereka. Tindakan-tindakan yang mengaburkan batas antara yang membutuhkan dan yang mampu hanya akan merusak semangat gotong royong yang menjadi dasar program ini.
Pada akhirnya, keadilan sosial tidak hanya terletak pada kebijakan, tetapi juga dalam niat dan tindakan yang mencerminkan rasa empati terhadap sesama. Inilah semangat yang seharusnya dijaga dalam setiap langkah menuju Indonesia yang lebih adil dan inklusif.
Discussion about this post