BITNews.id – Tahun ini Mahkamah Konstitusi (MK) dihadapkan pada setumpuk ‘pekerjaan rumah’. PR perkara selama pandemi terbilang membludak padahal masih ada PR sejak 2019 yang belum rampung yakni pengujian UU KPK.
Padahal, menurut mantan pimpinan KPK, Laode M. Syarif, seharusnya UU KPK jadi UU yang paling mudah diputuskan.
Akan tetapi, pada kenyataannya selama lebih dari setahun perkara ini ‘mangkrak’. Apa ada intervensi pihak lain? Laode enggan berandai-andai.
“Adakah intervensi kekuasaan lain? Saya tidak bisa jawab. Menurut saya keindependenan [MK] itu bisa kita lihat dari hasil putusan,” kata Laode dalam diskusi virtual bersama KoDe Inisiatif dikutip pada laman CNNindonesia. Minggu (18/4/2021).
Menurutnya, hakim MK seharusnya tidak pikir panjang untuk memutuskan. Sebab menurut Laode, UU KPK tidak memenuhi asas-asas pembuatan UU.
Salah satunya karena tidak ada konsultasi, baik dengan pihak akademisi, keterlibatan pemangku kepentingan, dan konsultasi publik. Saat masih menjabat sebagai pimpinan, Laode sendiri bahkan tidak dilibatkan dalam pembuatan UU KPK.
Pertemuan dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly juga tidak membuahkan titik terang, tapi hanya menjadi janji-janji belaka untuk menghadirkan KPK dalam pembahasan di DPR.
“Saya heran seharusnya ini gampang sekali untuk menolak. Ini clear cut. Semua prosedur dilanggar, enggak ada yang abu-abu. Saya yakin itu sedang mencari-cari alasan untuk memberikan pembenaran terhadap kesalahan yang tampak jelas,” ujarnya.
Laode berharap MK sekarang menganut tradisi progresif yang dilakukan hakim-hakim MK sebelumnya. Tradisi progresif atau judicial activism ini merupakan suatu pemikiran dari seorang hakim untuk mendapatkan suatu doktrin baru.
Dia memberikan contoh ‘Mabo case’ (1991) yang terkenal di Australia. Menurut UU konstitusi Australia, bahwa tanah di seluruh wilayah Australia merupakan milik pemerintah atau milik ratu (belong to their crown). Artinya, tidak boleh ada pengakuan atas tanah Australia kecuali negara.
Akan tetapi seorang Aborigin, Eddie Mabo, menentang UU konstitusi Australia. Ia tidak terima sebab leluhurnya sudah hidup di tanah Australia jauh sebelum ada konstitusi, sebelum ada pendatang dari Eropa.
Perlawanan ini sampai pada Mahkamah Agung Australia. Konstitusi negara boleh menyebut demikian, tetapi ini bertentangan dengan hak-hak fundamental asasi manusia. Terlebih Australia juga bagian dari masyarakat internasional yang juga menghormati hak-hak ini.
Mabo dan keluarga pun memiliki hak atas tanah dan sejak saat itu orang Aborigin diberikan hak atas tanah walau tanpa memperoleh sertifikat dari negara.
“Itulah yang progresif. Itu contoh judicial activism. Hakim harus mikir landasan konstitusi. Itu mengubah UU sebenarnya, tapi kalau revisi UU KPK enggak perlu mikir panjang begitu. Ada konstitusi tidak? Tidak. Ada stakeholder? Tidak. Apa kuorum? Cuma tanda tangannya saja yang kuorum, orangnya enggak ada,” kata Laode.
Dia menduga MK sedang memikirkan alasan sehingga masyarakat harus menerima revisi UU KPK. Bicara asas kemanfaatan pun, revisi UU KPK tidak ada gunanya. Dia berkata enam bulan setelah diundangkan, penerimaan masyarakat terhadap KPK menurun 60 persen.
Kehadiran Dewan Pengawas pun dinilai menimbulkan kerancuan. Laode mengamati, sejak ada Dewan Pengawas malah ada kasus bukti hilang atau pencurian alat bukti.
“Dulu enggak ada Dewas, enggak ada tuh pencurian. Pengawas internal itu lebih mudah, lebih sigap dibanding badan lain yang [cuma] formalitas,” imbuhnya.
“Saya berharap hakim-hakim MK duduk tafakur untuk memikirkan bahwa di dalam memutus perkara itu selain dibenarkan oleh hukum maka harus dibenarkan oleh suara hati paling dalam, sangat berharap 9 hakim masih mau mendengarkan hatinya, ” tambahnya. (*/red)
Discussion about this post