• DISCLAIMER
  • KODE ETIK
  • REDAKSI
  • TENTANG KAMI
  • IKLAN
  • KARIR
  • MEDIA PARTNER
Bitnews
  • Daerah
  • Nasional
  • Politik
  • Pemerintahan
  • Peristiwa
  • Hukrim
  • Diksosbud
  • Lifestyle
    • Automotive
    • Sport
    • Teknologi
  • Ekbis
  • Lainnya
    • Opini
    • Kabar TNI-Polri
    • Advertorial
No Result
View All Result
  • Daerah
  • Nasional
  • Politik
  • Pemerintahan
  • Peristiwa
  • Hukrim
  • Diksosbud
  • Lifestyle
    • Automotive
    • Sport
    • Teknologi
  • Ekbis
  • Lainnya
    • Opini
    • Kabar TNI-Polri
    • Advertorial
No Result
View All Result
Bitnews

Komnas Perempuan: Infrastruktur Pelayanan Perlu Disiapkan Mendukung RUU TPKS

Bitnews.id by Bitnews.id
18 Desember 2021
in Budaya, Diksosbud, Nasional, Pendidikan, Sosial
Komnas Perempuan: Infrastruktur Pelayanan Perlu Disiapkan Mendukung RUU TPKS

Webinar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) - Foto: capture

Share on FacebookShare on Twitter

BITNews.id – Memperingati hari Ulang Tahun ke-14, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) berbagi pengalaman meliput kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Indonesia.

Pengalaman jurnalis ini penting menjadi masukan bagi pengambil kebijakan, bahwa Indonesia sudah darurat kekerasan seksual dengan banyaknya kasus yang tidak terselesaikan, minimnya keberpihakan aparat penegak hukum hingga belum adanya payung hukum yang berkeadilan kepada korban.

Baca Juga:

Taekwondoin Jambi M. Wijaya Hamzah Raih Perak di PON Bela Diri 2025

Jasa Raharja Raih Penghargaan “Most Innovative In-House Counsel Team 2025” di IHCA

OJK, Kemendagri dan Kemenko Perekonomian Gelar Rakornas TPAKD 2025

Perkuat Layanan Publik, Jasa Raharja Terapkan Sentralisasi Pembayaran Keuangan

Berbagi pengalaman meliput kasus kekerasan seksual ini dilakukan jurnalis perempuan yang tergabung dalam FJPI se-Indonesia yakni Eka Rimawati (CNN Indonesia/FJPI Jatim), Cornelia Mudumi (Inews Jayapura/FJPI Papua), Anik Mukholatin Hasanah (RRI Surabaya/FJPI Jatim), Diana Saragih (fjpindonesia.com/FJPI Sumut), Fitri Madia (IDNTimes/FJPI Jatim) dan Nurmala (Puja TV Aceh/FJPI Aceh).

Hadir juga sebagai penanggap dalam webinar ini Andy Yentriyani (Ketua Komnas Perempuan), Diah Pitaloka (Anggota DPR RI/PDI Perjuangan), Desy Ratnasari (Anggota DPR RI/PAN), Kompol Ema Rahmawati, SIK (Tipidum Bareskrim Polri) dan Nahar (Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak/ KemenPPPA).

Ketua FJPI, Uni Lubis dalam sambutannya membuka webinar menyebutkan, sharring pengalaman jurnalis perempuan meliput kasus kekerasan seksual ini diharapkan dapat menjadi pendorong untuk mengawal Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) segera disahkan, sebagai payung hukum yang berkeadilan kepada korban. Apalagi mengingat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak setiap tahunnya terus meningkat.

“Kita tentu miris karena DPR belum jadi untuk meletakkan RUU TPKS ini sebagai usulan inisiatif DPR RI, padahal urgensinya sangat tinggi. Apalagi kasus kekerasan seksual sangat banyak, kalau dilihat dari laporan yang masuk ke Komnas Perempuan, setidaknya ada 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual setiap hari atau bisa dikatakan dalam setiap dua jam ada 3 perempuan yang menjadi korban,” kata Uni, Sabtu (18/12).

Pengalaman miris dalam meliput kasus kekerasan seksual juga dialami jurnalis perempuan. Seperti pengalaman Eka Rimawati (CNN Indonesia/FJPI Jatim) yang meliput kasus kekerasan pencabulan dan persetubuhan yang terjadi di pondok pesantren di Jombang tahun 2019, di mana pelaku dari kasus ini adalah putra Kyai dari pondok pesantren tersebut. Sebelumnya, tahun 2017, kasus ini sudah sempat SP3 namun karena kurang bukti akhirnya terhenti.

“Di sinilah pentingnya jurnalis perempuan yang punya empati untuk bisa melakukan peliputan dan mendukung korban untuk bersuara,” ujar Eka.

Lebih lanjut dikatakan Eka, menjadi jurnalis yang meliput kekerasan seksual ini juga cukup riskan, karena kita harus mengetahui siapa pihak yang salah dan siapa yang benar, jurnalis harus mencari data, melakukan investigasi dan menganalisis serta berkonsultasi dengan para pakar, sehingga tidak serta merta percaya dari keterangan terduna atau dari korban. Setelah diketahui secara detail peristiwa yang terjadi barulah keberpihakan kepada korban itu harus dilakukan oleh jurnalis.

“Keberpihakan jurnalis kepada korban itu perlu, apalagi korban tidak bisa membela dirinya,” terangnya.

Termasuk dalam upaya pelaku berkelit dari hukum, pendampingan informasi dari media menurut Eka sangat dibutuhkan korban. Apalagi dalam kasus ini sempat terjadi kejanggalan ketika pelimpahan berkas dari Polda Jatim ke Kejaksaan, pihak Kejaksaan menolak berkas tidak P21 karena tidak cukup bukti, dan pertengahan Desember pelaku melakukan pra peradilan, penyidik digugat oleh tersangka 100 juta. Banyak kasus yang terhenti di penyidik, karena tidak segera dilakukan penyidangan, sehingga muncul peluang terjadinya pra peradilan yang diajukan tersangka. Pra peradilan ini ujungnya menjadi subjektivitas hakim, agar status tersangka itu dapat dihapuskan, peluang korban untuk mendapatkan keadilan menjadi lebih panjang.

“Syukurnya, ketika itu banyak pihak yang mengawal kasus ini, termasuk intervensi media dalam penyebaran informasinya akhirnya permohonan tersangka ditolak dan dimenangkan oleh korban, tentu ini menjadi semangat baru dan peluang hukum untuk perjuangan dan keadilan bagi korban terbuka kembali,” paparnya.

Jalan panjang yang harus dilalui korban dalam proses penegakan hukum kasus kekerasan seksual juga dipaparkan jurnalis lainnya, termasuk minimnya keberpihakan aparat penegak hukum (APH) kepada korban, sulitnya mencari bukti dan saksi dalam kasus tersebut, banyaknya kasus kekerasan seksual yang akhirnya diselesaikan dengan damai secara adat istiadat seperti yang terjadi di Papua, hingga pengalaman jurnalis di Aceh yang meliput banyaknya kasus kekerasan yang diselesaikan tidak dengan hukum positif melainkan dengan hukum qanon jinayah.

“Qanon ini tidak melindungi korban sepenuhnya, karena di sini untuk menjerat pelaku, penegak hukum hanya memberikan sanksi cambuk, pemotongan kurungan. Berbeda kalau penegak hukum menggunakan hukum positif yang tentunya lebih berpihak kepada korban,” ujar Nurmala dari Puja TV, FJPI Aceh.

Menanggapi hal ini, Diah Pitaloka (Anggota DPR RI/PDI Perjuangan) mengatakan, saat ini DPR RI masih terus berupaya untuk segera mensahkan RUU TPKS.

“RUU ini akan disidangkan di awal masa sidang berikutnya, kita tidak kehilangan waktu, RUU ini akan tetap dibahas di paripurna inisiatif DPR, soal jadwal ini hanya menyangkut prosedur normatif saja bukan menyangkut komitmen DPR untuk mensahkan bukan masuk persoalan untuk menggagalkannya,” kata Diah.

Diah juga menyebutkan bahwa dalam RUU TPKS ini harus dikawal bersama, karena di dalamnya menjawab hambatan-hambatan proses penegakan hukum kasus kekerasan seksual yang selama ini terjadi, karena dalam RUU TPKS ini termasuk diatur tentang perluasan mengenai alat bukti juga saksi sehingga lebih berkeadilan kepada korban.

Desy Ratnasari (Anggota DPR RI/PAN) juga menyatakan komitmen diri dan partainya untuk segera mengesahkan RUU TPKS.

“Sikap pribadi saya tentunya akan mempengaruhi pimpinan fraksi dan membuat mereka juga berpikir tentang urgensinya UU ini untuk disahkan sehingga dapat melindungi korban,” kata Desy.

Di sisi lain, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan, perlu untuk diingat bahwa jika RUU TPKS ini sudah disahkan bukan berarti kasus kekerasan seksual akan menurun, malah akan meningkat karena korban berkeyakinan sudah ada hukum yang berkeadilan. Untuk itu, diperlukan kesiapan infrastruktur pelayanan kasus-kasus kekerasan seksual untuk mendukung keberadaan UU TPKS ke depan.

“Kita harus antisipasi infrastruktur pelayanannya, karena saya yakin akan semakin banyak korban yang melapor. Makanya infrastrukturnya harus disiapkan, karena status darurat kekerasan seksual itu bukan hanya soal laporan yang naik, tapi kemampuan daya dukung menangani sangat terbatas, hampir tidak bisa menampung dan menyikapi kasus yang ada, termasuk mekanisme pencegahan dan pengawasannya ini juga harus disiapkan,” jelas Andy.

Sementara aparat penegak hukum melalui Kompol Ema Rahmawati, SIK (Tipidum Bareskrim Polri) dan Nahar (Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak/ KemenPPPA) berkomitmen untuk memperbaiki kualitas pelayanan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, sehingga kasus-kasus kekerasan di Indonesia dapat ditangani dengan baik dan diharapkan tidak terulang lagi. (*/hen)

Next Post
Dukung Industri Kreatif, Menkeu Resmikan Gedung Dhanadyaksa Dipati Ukur

Dukung Industri Kreatif, Menkeu Resmikan Gedung Dhanadyaksa Dipati Ukur

Discussion about this post

No Result
View All Result

Berita Terhangat

  • Analisis Unsur dan Struktur dalam Pertunjukan Tari Kecak Bali

    Analisis Unsur dan Struktur dalam Pertunjukan Tari Kecak Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Romi Hariyanto Menjadi Bupati Pertama di Indonesia yang Terima Ramsar’s Award

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kritik Musik pada Official Music Video Lyodra – Pesan Terakhir

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Eksekutor Geng Motor di Hadiahi Timah Panas, Pelaku Mengaku Delapan Kali Beraksi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • PT Sungai Bahar Fasifik Utama Dilaporkan Ke Polda Jambi Oleh LSM Temperak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

PT. DIGITAL MEDIA INFORMATIF

JL.AR. Saleh RT.37 Kelurahan Paal Merah, Kecamatan Paal Merah Kota Jambi
Phone / Wa : 0811-749-7272
email: redaksibitnewsid@gmail.com

PEDOMAN MEDIA SIBER | REDAKSI | KODE ETIK | TENTANG KAMI | HAK JAWAB & KOREKSI BERITA | KARIR | SOP PERLINDUNGAN WARTAWAN | MEDIA PARTNER

Copyright© 2025 BITNews.id – Inspirasi Era Digital

Developed by – Otoy Media Group

No Result
View All Result
  • Daerah
  • Nasional
  • Politik
  • Pemerintahan
  • Peristiwa
  • Hukrim
  • Diksosbud
  • Lifestyle
    • Automotive
    • Sport
    • Teknologi
  • Ekbis
  • Lainnya
    • Opini
    • Kabar TNI-Polri
    • Advertorial

© 2025BITNews.id -Developed by: Websiteku.