BITNews.id – Di tengah gempuran pembangunan yang kerap menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas segalanya, suara-suara yang menyerukan keadilan sosial dan lingkungan menjadi semakin relevan.
Salah satunya datang dari Tubagus Soleh Ahmadi, calon Direktur Eksekutif WALHI Nasional. Baginya, ekonomi bukan sekadar angka atau statistik, melainkan sistem yang seharusnya melayani manusia dan alam, bukan sebaliknya.
Pandangan Tubagus tidak berhenti pada kritik, melainkan juga menawarkan alternatif humanis yang berakar pada hak-hak rakyat dan keberlanjutan ekosistem.
Konsep Ekonomi Nusantara sendiri masih diperdebatkan. Setidaknya terdapat tiga tafsir utama:
- Ekonomi berbasis kekayaan alam dan budaya – menekankan pemanfaatan potensi maritim, pertanian, dan kearifan lokal.
- Ekonomi maritim sebagai poros – melihat laut sebagai pusat perdagangan dan konektivitas, sebagaimana masa Sriwijaya dan Majapahit.
- Ekonomi kerakyatan dan keadilan – menempatkan rakyat sebagai subjek utama, dengan distribusi adil dan kedaulatan masyarakat atas sumber daya.
Tubagus menganut tafsir ketiga. Menurutnya, kekayaan Nusantara tidak boleh hanya dinikmati segelintir elite, melainkan harus dikembalikan kepada rakyat pemiliknya.
Tubagus menilai model pembangunan ekstraktif yang mengejar pertumbuhan dengan mengorbankan hutan, laut, dan sungai adalah kegagalan.
Proyek-proyek besar, seperti reklamasi, kerap dijustifikasi sebagai “kemajuan” atau “investasi”, padahal justru merugikan nelayan tradisional dan komunitas pesisir.
“Ekonomi yang abai terhadap dampak sosial dan lingkungan adalah ekonomi yang kehilangan esensinya,” tegasnya.
Lebih jauh, Tubagus menyoroti akar persoalan pada keterkaitan erat antara politik dan oligarki. Baginya, hampir tidak ada keputusan ekonomi di Indonesia yang murni terlepas dari kepentingan politik. Dari perizinan tambang hingga proyek infrastruktur, relasi pengusaha dan pejabat sering kali melanggengkan ketidakadilan.
Sistem ini, menurutnya, memberi keleluasaan bagi korporasi besar untuk meraup keuntungan, sementara masyarakat kecil harus berjuang mempertahankan hak dasar mereka.
Sebagai tawaran, Tubagus mengusung visi ekonomi rakyat—sebuah sistem berbasis komunitas, dengan rakyat sebagai pemegang kendali utama atas sumber daya. Prinsip utamanya mencakup:
- Hak agraria masyarakat adat dan petani untuk mengelola lahan tanpa intervensi korporasi besar.
- Perlindungan lingkungan sebagai prasyarat keberlanjutan ekonomi.
- Keadilan bagi kelompok rentan seperti perempuan, nelayan, dan masyarakat adat.
Pandangan Tubagus Soleh Ahmadi mengajukan pertanyaan mendasar: apakah tujuan pembangunan hanya sebatas pertumbuhan angka, atau kesejahteraan sejati bagi manusia dan alam?
Ia mengingatkan bahwa ekonomi yang baik adalah ekonomi yang memiliki hati ekonomi yang peduli pada manusia, menghormati hak-hak rakyat, dan menjaga keberlanjutan bumi sebagai rumah bersama. (*)
Discussion about this post