Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd
Terpilihnya Dr. H. Al Haris, S.Sos, M.H. sebagai Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) periode 2025–2030 pada Munas V ADPMET di Jakarta, 20 Juli 2025, menandai babak baru dalam tata kelola energi daerah di Indonesia.
Al Haris yang juga Gubernur Jambi, terpilih secara aklamasi menggantikan kepemimpinan sebelumnya, membawa semangat baru untuk membangun keadilan energi bagi daerah penghasil dan memperkuat kapasitas SDM lokal (Detik.com, 2025).
Saatnya inovasi SDA (Minyak dan gas, serta energi terbarukan dan SDM berjalan dalam bangunan Seiring Jalan.
Pembangunan nasional dewasa ini menuntut keseimbangan antara pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan penguatan Sumber Daya Manusia (SDM).
Dua aspek ini tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Daerah penghasil yang kaya SDA, utamanya minyak dan gas serta energi terbarukan ini, seperti Jambi, Kalimantan Timur, atau Sumatera Selatan, sering terjebak pada paradoks “kaya sumber, miskin manfaat.”
Fenomena ini dijelaskan dalam teori resource curse, kutukan sumber daya di mana kekayaan alam yang tidak diimbangi dengan kualitas manusia, hanya melahirkan ketimpangan sosial dan ketergantungan fiskal.
Al Haris memahami bahwa tanpa SDM unggul, potensi SDA hanya akan dikuasai oleh korporasi besar dan mengalir ke pusat (kapital flight). Karena itu dalam arah kebijakannya di ADPMET, ia sangat serius menekankan sinergi program peningkatan kapasitas SDM energi daerah, pendidikan vokasi migas, pelatihan pengelolaan lingkungan, serta pemberdayaan koperasi energi lokal agar masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tetapi pelaku utama.
“Daerah penghasil harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” tegas Al Haris dalam pembukaan Rakernas ADPMET di Cepu, 16 Oktober 2025, seraya menambahkan bahwa keadilan energi hanya bisa dicapai jika SDA dan SDM tumbuh bersama (Makalamnews.id, 2025).
Dasar Hukum dan Filosofi Keadilan SDA
Pengelolaan SDA di Indonesia berlandaskan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Namun dalam praktiknya, tata kelola SDA seperti minyak gas dan berbagai energi terbarukan ini, sering kali belum memenuhi prinsip keadilan0. Kajian Qurbani (2024:121) menegaskan bahwa negara tidak boleh menjadi “penguasa absolut” atas SDA, melainkan “pengatur yang adil” agar manfaatnya merata.
Sementara Mustofa (2023) dalam jurnal Ekonomi Pembangunan Berkelanjutan menyoroti bahwa kegagalan membangun SDM daerah menjadi akar ketimpangan fiskal antarwilayah.
Al Haris membawa perspektif baru: regulasi energi harus mengandung asas pemerataan dan kedaulatan lokal. Dalam konteks ADPMET, ia memperjuangkan hak daerah penghasil untuk mendapatkan porsi yang adil dalam Participating Interest (PI) migas sebesar 10 persen, serta mendorong regulasi nasional yang memberi ruang bagi BUMD energi daerah untuk menjadi mitra langsung dalam pengelolaan lapangan produksi.
Jenis Energi dan Potensi Terbarukan
Indonesia memiliki cadangan energi melimpah, baik yang fosil maupun terbarukan. Data Kementerian ESDM (2024) menunjukkan bahwa potensi energi terbarukan nasional mencapai 3.600 gigawatt (GW), dengan rincian panas bumi 24 GW, hidro 95 GW, surya 3.294 GWp, angin 155 GW, dan biomassa 32 GW. Namun, pemanfaatannya baru sekitar 13 persen dari total kapasitas energi nasional.
Potensi besar ini tersebar di berbagai daerah: Sumatera kaya panas bumi dan biomassa, Kalimantan melimpah energi surya, sedangkan Nusa Tenggara dan Sulawesi unggul dalam tenaga angin dan air. Sayangnya, keterbatasan infrastruktur, investasi, dan SDM lokal membuat banyak potensi belum tersentuh.
Dengan posisi Al Haris di ADPMET, arah kebijakan energi diharapkan beralih dari eksploitasi ke transformasi, dari konsumsi fosil ke pemanfaatan energi bersih berbasis masyarakat. Pendekatan ini sejalan dengan National Energy Transition Roadmap 2060 yang menargetkan net zero emission (NZE).
Indonesia dan Daerah Kaya Energi
Melalui ADPMET, daerah penghasil berupaya memperkuat posisi tawar terhadap kebijakan pusat. Provinsi seperti Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi kini menjadi poros advokasi daerah penghasil. Mereka menginginkan tata kelola energi yang tidak sentralistik, melainkan berbasis kearifan lokal dan pemberdayaan manusia daerah.
ADPMET sendiri merupakan hasil transformasi dari Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM) yang berdiri pada 2001. FKDPM berubah menjadi ADPM pada 2015, lalu menjadi ADPMET (Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan) pada 26 Desember 2020 di Bali, dan resmi dikukuhkan oleh Menteri Dalam Negeri pada 2 Maret 2021. Perubahan nomenklatur ini mencerminkan visi baru: mengintegrasikan migas dan energi terbarukan dalam satu gerakan daerah untuk kemandirian energi nasional (adpmet.or.id, 2025).
Pendapatan Daerah dari SDA: Kasus Jambi
Provinsi Jambi menjadi contoh konkret bagaimana daerah penghasil masih menghadapi ketimpangan fiskal. Berdasarkan laporan Jurnalone (Agustus 2025), penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas Jambi menurun tajam dari sekitar Rp 236 miliar pada 2019 menjadi hanya sekitar Rp 90,5 miliar pada 2023. Sementara produksi migas di blok Rimbo Bujang dan blok Ketaling masih aktif, pendapatan daerah justru stagnan akibat formula pembagian pusat dan keterlambatan data lifting migas.
Dalam wawancara media, Al Haris menegaskan bahwa daerah penghasil tidak boleh hanya menerima sisa hasil produksi. Daerah harus mendapat hak PI (Participating Interest) 10%, pengelolaan sumur minyak rakyat, dan peluang pengembangan EBT lokal seperti PLTS desa mandiri dan biomassa sawit. Kebijakan ini sejalan dengan keputusan pemerintah pusat yang pada Oktober 2025 melegalisasi 45.000 sumur minyak rakyat di enam provinsi, termasuk Jambi, yang pengelolaannya diserahkan kepada BUMD dan koperasi lokal (JambiLink.id, 2025).
Regulasi dan Keseimbangan SDA (MET)–SDM
Regulasi nasional yang ada, seperti UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan dan UU No. 30/2007 tentang Energi, belum sepenuhnya menjamin keterlibatan SDM lokal. Oleh karena itu, ADPMET di bawah kepemimpinan Gubernur Al Haris mendorong lahirnya Perda Energi Daerah di setiap provinsi penghasil. Perda ini akan mengatur pelibatan tenaga kerja lokal, kemitraan dengan universitas, serta porsi minimal investasi pendidikan energi.
Selain itu, ADPMET menjalin kerja sama teknis dengan Pusat Survei Geologi (PSG) untuk memutakhirkan data potensi migas dan EBT di setiap daerah (ADPMET–PSG, Rakor 2024). Langkah ini penting agar kebijakan berbasis data, bukan hanya politik. Menurut teori pembangunan manusia (UNDP, 2024), kemajuan suatu daerah tidak ditentukan oleh seberapa banyak minyak yang dihasilkan, tetapi oleh seberapa tinggi Human Development Index (HDI) yang berhasil dicapai melalui pendidikan dan inovasi.
Adil, Makmur, dan Rasionalitas PI 10%
Usulan Participating Interest (PI) sebesar 10% menjadi simbol perjuangan keadilan energi bagi daerah penghasil. Angka ini dianggap rasional karena memberi ruang partisipasi daerah tanpa menurunkan efisiensi bisnis migas nasional. Namun secara teori fiskal, beberapa ekonom daerah (Iskandar, 2024) menilai bahwa porsi ideal bagi hasil antara pusat dan daerah seharusnya 20–30%, tergantung kontribusi sumber daya dan beban sosial-lingkungan yang ditanggung daerah.
Al Haris menilai bahwa perjuangan bukan sekadar soal angka, tetapi soal keadilan struktural: bagaimana memastikan rakyat di sekitar sumber energi ikut menikmati hasilnya, bukan hanya menanggung dampaknya. Dengan model PI 10%, daerah bisa membangun BUMD energi, memperkuat pendapatan asli daerah (PAD), dan membiayai pendidikan serta kesehatan masyarakat penghasil.
Jalan Keseimbangan
Kepemimpinan Al Haris di ADPMET menandai pergeseran paradigma: dari eksploitasi menuju transformasi, dari ketergantungan menuju kemandirian, dari SDA menuju SDM unggul.
Ia tidak hanya berperan sebagai koordinator daerah penghasil, tetapi juga sebagai arsitek keadilan energi nasional.
Jika program-program ini berjalan konsisten, transparansi lifting migas, reformasi DBH, legalisasi sumur rakyat, pendidikan energi lokal, dan penguatan SDM, maka cita-cita adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana amanat konstitusi akan tercapai.
Seperti disampaikan Al Haris dalam pidato pelantikannya di Munas V ADPMET:
“Kekayaan alam adalah titipan Tuhan. Tugas kita bukan menghabiskannya, tapi menjadikannya berkah bagi manusia, agar bumi Indonesia tidak hanya kaya batu dan minyak, tapi kaya ilmu, iman, dan kesejahteraan.”
Inilah makna sejati kepemimpinan yang menyeimbangkan bumi dan manusia.
Penulis adalah Tenaga Ahli Gubernur Jambi – Guru besar UIN STS Jambi
Discussion about this post