Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd.
Situs Candi Muara Jambi merupakan salah satu kompleks percandian Buddha terbesar di Asia Tenggara, berlokasi di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Indonesia. Kawasan ini mencakup lebih dari 12 km² dengan delapan kompleks utama yang telah dipugar dan puluhan lainnya masih tertimbun tanah.
Para arkeolog menilai situs ini sebagai pusat peradaban Melayu kuno yang berpengaruh luas, sejajar dengan pusat peradaban Asia lainnya seperti Angkor Wat di Kamboja dan Borobudur di Jawa Tengah (Sulasman, 2019, hlm. 27).
Berdirinya Situs dan Para Pendirinya
Situs Muara Jambi diperkirakan berdiri antara abad ke-7 hingga ke-13 Masehi, bertepatan dengan masa kejayaan Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya. Menurut penelitian Pusat Arkeologi Nasional (Balai Arkeologi Sumatra, 2018, hlm. 13), kompleks ini dibangun oleh para biksu dan penguasa Melayu sebagai pusat pendidikan dan meditasi Buddha Mahayana.
Sumber prasasti seperti Prasasti Karang Berahi (686 M) menyebut nama Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang menjadi petunjuk hubungan erat antara Sriwijaya dengan Jambi sebagai pusat ilmu pengetahuan dan perdagangan. Penemuan fragmen arca dan stupa memperkuat teori bahwa situs ini adalah universitas Buddhis internasional, seperti Nalanda di India (Rahardjo, 2017, hlm. 44).
Tujuan pendirian kompleks Muara Jambi bukan hanya religius, melainkan juga diplomatik dan ekonomi. Sungai Batanghari menjadi jalur strategis perdagangan lintas Samudra Hindia–Selat Malaka, menjadikan kawasan ini simpul interaksi dunia Melayu, India, dan Tiongkok (Wahyudi, 2020, hlm. 58).
Situs Terluas di Dunia
Penelitian terbaru oleh UNESCO (2021, hlm. 7) menyebutkan bahwa kompleks Muara Jambi memiliki luas sekitar 3.981 hektar, menjadikannya kompleks percandian Buddha terluas di dunia yang masih alami. Sebagai perbandingan, Angkor Wat di Kamboja mencakup sekitar 1.626 hektar (Evans et al., 2013, hlm. 98).
Muara Jambi memiliki sistem kanal, parit, dan jalur air kuno sepanjang 26 km yang menunjukkan keunggulan perencanaan tata kota kuno. Sistem hidrologi ini menandakan kecanggihan teknologi lokal Melayu dalam memanfaatkan lanskap sungai untuk kegiatan religius dan ekonomi.
Temuan Arkeologis sebagai Bukti Peradaban Dunia
Penelitian arkeologi di Muara Jambi dimulai sejak kolonial Belanda pada tahun 1820 oleh S.C. Crooke, yang melaporkan reruntuhan candi di tepian Sungai Batanghari (Crooke, 1820, hlm. 102).
Selanjutnya, penggalian modern oleh Tim Arkeologi Nasional Indonesia (1975–2020) menemukan lebih dari 60 struktur bata kuno, arca perunggu abad ke-8, fragmen manik-manik India, dan keramik Tang–Song (abad ke-9–13 M) (Nasution, 2018, hlm. 76).
Penemuan Arca Prajnaparamita (abad ke-9 M) dan Stupa Emas kecil menunjukkan pengaruh India yang kuat (Sumadio, 2019, hlm. 91). Selain itu, artefak tulisan beraksara Pallawa dan Kawi membuktikan adanya pertukaran ilmu antara Jawa, Sumatra, dan Asia Selatan (Wolters, 2011, hlm. 119).
Keberadaan kanal kuno yang terhubung dengan Sungai Batanghari menandakan sistem urban kuno yang terencana, menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi (Manguin, 2012, hlm. 56).
Arkeologis, Sejarah, dan Kisah Besar di Baliknya
Kisah besar di balik situs ini erat dengan jatuh bangunnya peradaban Melayu dan Sriwijaya. Setelah keruntuhan Sriwijaya pada abad ke-13, Muara Jambi tetap menjadi pusat intelektual dan spiritual. Menurut Miksic (2010, hlm. 62), tradisi Buddhis di Muara Jambi menjadi jembatan antara ajaran Buddha India dan Asia Tenggara.
Peneliti dari University of Oxford (Bennet & Goh, 2019, hlm. 142) menyebut bahwa Muara Jambi memainkan peran penting dalam “Buddhist Maritime Network”, jaringan biara dan pelabuhan yang menghubungkan Asia Selatan, Nusantara, dan Tiongkok.
Secara lokal, legenda masyarakat Jambi menyebut situs ini sebagai “Tanah Para Resi” atau tempat bersemayamnya pendeta suci. Hingga kini, masyarakat sekitar masih melakukan ziarah dan ritual tertentu sebagai bentuk penghormatan pada leluhur dan spiritualitas Melayu kuno (Zainal, 2020, hlm. 39).
Situs Muara Jambi bukan sekadar peninggalan arkeologi, melainkan simbol kebesaran peradaban Melayu dan bukti keterhubungan Nusantara dengan peradaban dunia. Luasnya kompleks, canggihnya sistem tata kota, serta artefak lintas budaya menunjukkan bahwa peradaban Jambi kuno sejajar dengan pusat-pusat peradaban global seperti Angkor Wat dan Nalanda.
Pemeliharaan dan pengkajian berkelanjutan menjadi tanggung jawab bersama agar Muara Jambi tak hanya menjadi warisan lokal, tetapi juga ikon peradaban dunia yang hidup dan berkelanjutan.
Penulis adalah Guru besar UIN STS Jambi








Discussion about this post