BANDUNG, BITNews.id – Di tengah kelangkaan gas LPG 5 kg yang semakin dirasakan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, muncul pemandangan kontras di sejumlah proyek besar. Salah satunya proyek Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), yang tampak menggunakan tabung gas LPG 5 kg untuk keperluan pengelasan besi.
Fenomena ini memicu pertanyaan di kalangan warga yang kesulitan mendapatkan gas untuk kebutuhan memasak sehari-hari. Sejumlah ibu rumah tangga di berbagai daerah mengeluhkan sulitnya memperoleh tabung LPG 5 kg di pangkalan resmi, bahkan di warung-warung pengecer sekalipun. Jika pun tersedia, harganya melambung jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
“Saya sudah keliling beberapa warung, tapi kosong. Kalau ada, harganya bisa Rp25.000 sampai Rp30.000 per tabung, padahal seharusnya lebih murah,” ujar Rini, seorang warga yang sehari-hari mengandalkan LPG 5 kg untuk memasak.
Di sisi lain, proyek besar seperti BBWS tampak tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasokan LPG 5 kg. Para pekerja di proyek tersebut dengan leluasa menggunakan gas bersubsidi untuk kegiatan konstruksi, termasuk pengelasan besi. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah ada pengawasan yang lemah dalam distribusi LPG bersubsidi?
Pakar ekonomi energi, Ahmad Ridwan, menilai penggunaan LPG 5 kg dalam proyek besar menunjukkan adanya ketidaktepatan sasaran distribusi. “LPG 5 kg adalah produk bersubsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu. Jika proyek-proyek besar bisa mengaksesnya dengan mudah, ada indikasi kebocoran distribusi yang perlu diawasi lebih ketat,” jelasnya.
Pemerintah sebenarnya telah menetapkan bahwa LPG 5 kg hanya diperuntukkan bagi rumah tangga miskin dan usaha mikro. Namun, dalam praktiknya, pengawasan di lapangan masih lemah, sehingga gas bersubsidi kerap disalahgunakan oleh pihak yang tidak berhak.
Sejumlah aktivis dan pemerhati kebijakan publik mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk lebih tegas dalam mengawasi distribusi LPG bersubsidi. Mereka menilai perlu ada mekanisme kontrol yang lebih ketat agar subsidi tepat sasaran dan tidak dinikmati oleh pihak yang sebenarnya mampu membeli gas nonsubsidi.
Pihak BBWS sendiri belum memberikan tanggapan resmi terkait penggunaan LPG 5 kg dalam proyek mereka. Namun, masyarakat berharap ada langkah konkret dari pemerintah untuk memastikan distribusi LPG berjalan sesuai peruntukannya.
Di tengah kesulitan yang dihadapi masyarakat, muncul pula spekulasi mengenai adanya permainan di tingkat distributor atau agen yang lebih mengutamakan pelanggan tertentu dibanding masyarakat umum. Jika dugaan ini benar, maka perlu ada investigasi mendalam untuk mengungkap siapa yang paling diuntungkan dari kelangkaan ini.
Bagi masyarakat kecil, LPG 5 kg bukan sekadar bahan bakar, tetapi kebutuhan pokok yang sangat berpengaruh terhadap keseharian mereka. Jika akses terhadapnya semakin sulit, dampaknya bisa meluas, dari beban ekonomi rumah tangga hingga potensi meningkatnya penggunaan bahan bakar alternatif yang kurang ramah lingkungan, seperti kayu bakar atau minyak tanah.
Pemerintah dan pihak terkait diharapkan segera mengambil langkah nyata untuk mengatasi permasalahan ini. Jika tidak, kelangkaan LPG 5 kg bisa terus berulang, sementara ketimpangan dalam pemanfaatannya semakin tajam.
Masyarakat menunggu jawaban: apakah gas LPG 5 kg benar-benar untuk rakyat kecil, atau justru lebih mudah didapat oleh proyek-proyek besar?. (Tgr)








Discussion about this post