BITNews.id – Aktivis lingkungan Tubagus Soleh Ahmadi, yang akrab disapa Bagus, dikenal sebagai salah satu tokoh yang konsisten mengadvokasi konsep Wilayah Kelola Rakyat (WKR).
Konsep ini menekankan pengakuan terhadap hak masyarakat dalam mengelola sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.
Menurut Bagus, praktik pembangunan di Indonesia masih menempatkan masyarakat sebagai objek, sementara kendali atas lahan dan sumber daya alam lebih banyak dikuasai korporasi maupun elite politik. Melalui WKR, ia mendorong kembalinya kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya.
“WKR adalah jalan untuk mengatasi ketidakadilan ekologis. Rakyat harus diakui sebagai subjek utama dalam pengelolaan sumber daya, bukan hanya menjadi korban dari kebijakan pembangunan,” kata Tubagus dalam salah satu forum diskusi lingkungan
Bagus, yang juga aktif di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menekankan tiga hal penting dalam advokasinya terkait WKR:
- Pengakuan tanah adat: negara diharapkan memberi pengakuan sah terhadap wilayah yang turun-temurun dikelola masyarakat adat.
- Perlindungan ruang hidup petani dan nelayan: memastikan petani serta nelayan tradisional dapat mengelola lahan dan perairan tanpa terancam proyek besar yang merusak.
- Pangan berkelanjutan: mendorong model pangan berbasis agroekologi yang ramah lingkungan sekaligus menjamin ketahanan pangan masyarakat.
Selain advokasi, Tubagus kerap memimpin aksi penolakan terhadap proyek-proyek yang dinilai merusak lingkungan, seperti reklamasi pantai, pertambangan, hingga pembangunan PLTU batu bara.
Menurutnya, proyek tersebut tidak hanya merampas ruang hidup masyarakat, tetapi juga menimbulkan ancaman kesehatan dan kerusakan ekosistem.
“Pengakuan WKR menjadi kunci untuk menghentikan perampasan lahan dan mencegah bencana ekologis. Jika rakyat berdaulat atas wilayahnya, mereka punya dasar hukum untuk menolak proyek yang mengancam kehidupan,” ujarnya.
Bagi Tubagus, WKR bukan sekadar konsep, melainkan gerakan sosial. Ia aktif mendampingi komunitas lokal, petani, nelayan, dan masyarakat adat dalam memperkuat kapasitas mereka memperjuangkan hak atas lingkungan.
Kiprahnya menegaskan bahwa solusi atas krisis ekologis tidak cukup mengandalkan kebijakan dari atas, melainkan dengan mengembalikan kuasa kepada masyarakat yang paling terdampak. (*)
Discussion about this post