Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
Terlepas diakui atau tidak, jumlah penduduk miskin di Provinsi Jambi relatif tak banyak berubah dari satu dekade lalu, bahkan jika menganalisanya lebih tajam tingkat keparahannya cenderung lebih di dasar.
Tentunya banyak yang bertanya, datanya dari mana? Soal ini tak usah jauh-jauh, kita merujuk data BPS (Badan Pusat Statistik) milik pemerintah saja, kita jadi tahu kemiskinan di Provinsi Jambi mengalami stagnasi bahkan peningkatan.
Tahun 2011 kemiskinan mencapai 7,90 persen, lalu 2012 meningkat 8,24 persen, 2013 tercatat sebesar 8,41 persen, 2014 sebesar 8,39 persen dan 2015 naik 9,12 persen. Itu data lama, data satu dasawarsa lalu.
Lalu bagaimana kondisi sekarang, Maret 2021 misalnya, jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut mencapai 293,86 ribu jiwa atau 8,09 persen dari total penduduk. Angka ini hampir sama dengan laju inflasi 8,55 persen yang diumumkan Presiden Republik Indonesia pada Agustus 2022 lalu.
Angka kemiskinan tersebut bertambah 16,06 ribu jiwa dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 2020. Pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin di Jambi sebanyak 277,8 ribu jiwa atau 7,58 persen. Sekali lagi sebagai gambaran bagaimana kemiskinan tak pernah berubah dari tahun ke tahun.
Jika diamati kemiskinan di Jambi tergolong klasik, yakni disulut kenaikan harga pangan. Sumbangan komoditas makanan (beras, cabe, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mi instan, gula pasir, tempe, tahu, dan kopi) terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar ketimbang peranan komoditas bukan makanan (biaya perumahan, listrik, bensin, pendidikan, dan perlengkapan mandi).
Sedangkan pelambatan ekonomi, pelemahan nilai tukar, dan harga komoditas di pasar dunia yang menurun membuat ekonomi tidak bergerak merupakan faktor eksternal yang membuat kemiskinan menjadi situasi yang sulit dikendalikan, karena berkaitan situasi dunia.
Di Provinsi Jambi belanja rumah tangga yang diharapkan jadi penggerak ekonomi tidak terjadi karena daya beli menurun. Di saat upah stagnan, sementara harga BBM (bahan bakar minyak) dan pangan naik, serta-merta warga jatuh miskin.
Rerata nasional, peranan komoditi bahan makanan terhadap kemiskinan masih lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Besarnya sumbangan bahan makanan terhadap kemiskinan sebesar Rp360.007 per kapita per bulan atau 74,05% di 2021.
Beras dan cabe merupakan komoditi bahan makanan yang memberikan sumbangan terbesar yakni sebesar 19,69% di perkotaan. Sementara di perdesaan, kontribusinya sebesar dan 23,79%.
Dalam beberapa tahun terakhir ada kecenderungan inflasi didorong fenomena non moneter. Ditilik dari sumbernya, inflasi lebih didorong sektor pangan (volatile foods) dan barang-barang yang harganya diatur pemerintah (administered goods).
Bagi rakyat, terutama yang miskin, instabilitas harga pangan akan mengekspos mereka pada posisi rentan.
Warga miskin di perdesaan membelanjakan 74% pendapatan keluarga untuk pangan. Dari semua jenis pangan, beras paling dominan, menguras 32% pendapatan keluarga miskin perdesaan.
Jika harga pangan, terutama beras naik, mereka harus merelokasikan keranjang belanja guna mengamankan isi perut.
Cara pertama, memangkas dana pendidikan dan kesehatan. Jika cara ini belum cukup, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Selain itu Jenis pangan murah jadi pilihan. Jika ini terjadi jangan heran inflasi pangan akan membuat angka putus sekolah meningkat dan kurang gizi.
Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan.
Buat ibu hamil/menyusui dan Balita, akan memperburuk kecerdasan anak. Harus diakui, Indonesia tergolong tertinggal dalam pengaturan pangan, terutama pengendalian harga. Tidak usah jauh-jauh, dengan provinsi tetangga saja, kita ketinggalan.
Penulis adalah pengamat ekonomi di Jambi
Discussion about this post