Oleh : Airlangga
Luka di Tengah Harapan yang Rapuh.
Tahun 2019 seharusnya menjadi babak baru bagi Bu Tini, seorang ibu yang mencoba bangkit dari kehilangan. Namun, pernikahan keduanya justru membawa duka yang tak terbayangkan. Suami barunya melakukan tindakan keji terhadap putri sulung Bu Tini, Rita, seorang gadis 17 tahun dengan keterbelakangan mental. Peristiwa itu tidak hanya melukai Rita, tetapi juga menghancurkan hati seorang ibu yang telah kehilangan banyak hal dalam hidupnya.
Duka semakin mendalam ketika Rita melahirkan seorang bayi perempuan, Nur Afifah. Kehadiran Nur menjadi pengingat akan tragedi itu. Namun, di sisi lain, ia juga menjadi alasan bagi Bu Tini untuk tetap bertahan.
Hidup di Tengah Keterbatasan.
Bu Tini kini menjalani hidup yang berat. Dengan penghasilan kurang dari Rp 50 ribu per hari dari berjualan keliling, ia harus menghidupi Rita, Nur, dan Devi, putri bungsunya yang juga memiliki keterbelakangan mental serta kelainan fisik. Devi, yang berusia 16 tahun, belum bisa berjalan atau mandiri. Rumah kontrakan kecil mereka seharga Rp 300 ribu per bulan adalah tempat perlindungan sekaligus saksi perjuangan hidup yang tak pernah mudah.
Setiap pagi, Bu Tini berjalan dari kampung ke kampung menjajakan dagangannya. Keringat yang menetes di bawah terik matahari adalah bukti cinta tanpa syarat untuk keluarganya. Meski begitu, ia sering kali merasa dunia ini terlalu kejam. “Kalau bukan karena anak-anak, mungkin saya sudah menyerah,” tuturnya.
Secercah Harapan di Mata Nur.
Di tengah penderitaan, Nur, yang kini berusia lima tahun, menjadi satu-satunya cahaya kecil dalam hidup Bu Tini. Dengan kepolosannya, Nur sering membuat Bu Tini tersenyum, meski hati ibu itu dipenuhi luka. Setiap pagi, ia mengantar Nur ke taman kanak-kanak, memastikan anak itu mendapatkan pendidikan yang layak. Baginya, masa depan Nur adalah prioritas, meskipun hari-hari mereka penuh keterbatasan.
Di rumah, Nur sering menghibur Devi dengan menyanyikan lagu atau menunjukkan gambar-gambar dari sekolah. Interaksi kecil itu menjadi pengingat bagi Bu Tini bahwa cinta di tengah keluarga mereka masih hidup, meskipun dunia luar sering kali tak berpihak.
Menatap Masa Depan dengan Ketegaran.
Meski begitu, malam adalah waktu yang paling berat bagi Bu Tini. Saat semua telah tertidur, ia sering termenung di sudut kamar, bertanya pada dirinya sendiri apakah ia mampu bertahan lebih lama. Ia tahu bahwa perjuangan ini tidak akan pernah berakhir, tetapi senyum anak-anaknya menjadi penguat untuk terus melangkah.
Bu Tini berharap ada uluran tangan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, untuk meringankan beban hidup mereka. Akses kepada bantuan sosial, pendidikan untuk Nur, dan pendampingan medis bagi Devi adalah harapan kecil yang masih ia genggam.
Pelajaran dari Keteguhan Hati Bu Tini.
Kisah Bu Tini bukan hanya potret kemiskinan, tetapi juga keteguhan hati seorang ibu yang berjuang melawan arus kehidupan. Di tengah keterbatasan, ia menunjukkan bahwa cinta dapat menjadi alasan untuk tetap bertahan.
Kita sering kali mengeluhkan hal-hal kecil dalam hidup, tetapi Bu Tini mengajarkan kita untuk bersyukur dan berempati. Hidup memang tidak selalu adil, tetapi dengan uluran tangan, kita bisa membantu mengubah cerita kelam seperti ini menjadi lebih cerah.
Catatan:
Artikel ini diharapkan menjadi cermin bagi kita semua, terutama pemerintah dan masyarakat, untuk tidak menutup mata terhadap mereka yang membutuhkan. Semoga kisah Bu Tini menjadi pemantik bagi kita untuk terus membantu dan menginspirasi perubahan.
Discussion about this post