Oleh : Juan Ambarita
Peristiwa mudik alias pulang kampung merupakan suatu tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Indonesia setiap tahunnya disaat menjelang perayaan hari raya Idul fitri dan hari-hari besar keagamaan lainnya. Para perantau di kota pulang ke kampung halaman untuk berkumpul, dan merayakan hari kemenangan bersama keluarga di kampung halaman.
Jika ditinjau dari segi ekonomi, tradisi mudik atau pulang kampung ini tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu puncak perputaran uang terbesar bagi masyarakat Indonesia. Melansir dari pemberitaan kontan.co.id hasil survei dari Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan (Balitbanghub) melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Jalan dan Perkeretaapian, menunjukkan bahwa potensi pemudik angkutan lebaran pada tahun 2019 untuk wilayah Jabodetabek Terdapat sebanyak 3,5 juta rumah tangga, dengan total populasi pemudik sebanyak 14,9 juta orang, yang diperkirakan 20,9% pemudik menghabiskan dana di lokasi mudik dengan kisaran Rp 500.000 sampai Rp1.500.000 dan 20,1% menghabiskan dana sekitar Rp 1.500.000 sampai Rp2.500.000.
Apabila ditotalkan, maka dana pemudik dari wilayah Jabodetabek yang dihabiskan di lokasi mudik adalah sebesar Rp 10,3 triliun. Yang di mana untuk dana tersebut paling banyak mengalir di wilayah Jawa Tengah sebesar Rp 3,8 triliun, Jawa Barat sebesar Rp 2,05 triliun, Jawa Timur sebesar Rp 1,3 triliun, serta sisanya tersebar ke wilayah lain di Indonesia. Sebagai catatan, dana tersebut tidak termasuk biaya perjalanan dari asal ke tujuan.
Berdasarkan data diatas dapat kita simpulkan bahwa benar momentum mudik memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di berbagai bidang seperti transportasi, makanan, minuman, perhotelan, pariwisata, ritel, konveksi, UMKM, sampai kepada start-up di bidang traveling, e-commerce, dan juga financial technology (fintech).
Namun dikarenakan kondisi dari Pandemi Covid-19, Pemerintah mengambil kebijakan peniadaan mobilitas mudik sementara yang berlaku pada tanggal 6 sampai 17 Mei 2021 dan diiringi dengan kebijakan pengetatan mobilitas yang berlaku selama H-14 peniadaan mudik yang berlangsung pada 22 April hingga 5 Mei 2021 dan H+7 peniadaan mudik pada 18 Mei hingga 24 Mei 2021.
Adapun aturan tersebut tertuang dalam Addendum Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19 selama Ramadhan yang ditandatangani Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada 21 April 2021.
Dengan diterbitkannya surat edaran ini maka tentu akan berimbas terhadap sektor perekonomian masyarakat, pandemi covid-19 seharusnya tidak serta merta menjadi alasan pemerintah dalam merumuskan kebijakan larangan mudik.
Justru momentum ini harus dikelola untuk membiasakan masyarakat dengan cara hidup normal baru(New Normal Live). Sebagaimana yang sering kali di kampanyekan oleh pemerintah sendiri dengan menerapkan protokol Kesehatan 3M dalam beraktivitas sehari-hari.
Sejauh ini berbagai media massa memberitakan bahwa pemulihan kesehatan masyarakat sudah menuju ke arah yang lebih baik seiring dengan program vaksinasi yang terus dilakukan. Selain aspek kesehatan aspek ekonomi juga harus dipertimbangkan.
Saya sendiri tidak sedang mempertentangkan atau lebih mengutamakan antara aspek kesehatan atau ekonomi, keduanya jelas merupakan hal yang sangat penting. Namun lebih baik rasanya jika kedua hal penting ini bisa berjalan beriringan, mudik di perbolehkan dengan syarat dan ketentuan yang ketat, pemudik wajib menunjukkan dokumen hasil rapid antigen atau swab negatif Covid-19.
Baik saat pulang ke kampung halaman maupun disaat arus balik. Apalagi dengan telah adanya alat pendeteksi virus covid-19 karya anak bangsa saat ini yang bernama GeNose dengan cara kerja yang lebih simpel dan telah resmi mendapat izin penggunaannya dari Kementerian Kesehatan. Maka yang diperlukan tinggal menggenjot proses vaksinasi di berbagai wilayah dan tetap menekankan kepada kepatuhan dalam penerapan prokes 3M dalam setiap aktivitas.
Dengan demikian maka mudik tetap bisa dilangsungkan dan tetap terdapat perputaran ekonomi di masyarakat dengan berbagai aspek lainnya sebagaimana lebaran pada di tahun-tahun lalu, walaupun dengan kemungkinan perputaran uang yang lebih kecil sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
Pelarangan mudik lebaran kali ini merupakan pelarangan kali kedua. Kalau tahun lalu sudah tidak mudik, tahun ini sepertinya akan sulit untuk ditahan. Sehingga meskipun pemerintah dengan segala kewenangannya untuk membuat regulasi larangan mudik dengan harapan agar masyarakat mematuhinya.
Dengan berkaca pada peristiwa mudik tahun 2020 yang dimana pada kala itu juga diterbitkan larangan mudik namun pada akhirnya tidak sedikit dari masyarakat yang menghiraukan larangan pemerintah tersebut. Rasanya peristiwa ini akan terulang kembali pada mudik lebaran 2021 ini.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi
Discussion about this post